Langsung ke konten utama

Mandiri

Sabtu ini kebetulan saya menggantikan tante menemani si kakak untuk hadir di kegiatan sekolah.

Ada agenda rutin ekskul setiap minggu dari sekolahnya, kebetulan sepupu saya mengambil ekskul renang. Jam 7 pagi kami sudah datang ke kolam untuk berkumpul dengan yg lain

Sambil menjinjing pelampung saya mengantar si kaka untuk ikut pemanasan bersama teman2nya yg lain. Kemudian saya duduk di banku kayu yg berhadapan lgsg dgn kolam. Sambil sesekali melirik ke tempat si kakak dan teman2nya.

Di samping saya sudah berjejer beberapa tas, seertinya sih tas anak laki2 karena gambarnya spiderman hehe. Benar saja selang satu jam kemudian ada dua anak lelaki yg berlarian menuju tas yg ada di samping saya.

"Kamu bawa uang ga?" tanya anak lelaki yg bertubuh kurus
"Bawa, yuk jajan" jawab temannya

Tidak lama mereka pergi, mereka kembali dengan dua bungkus singkong jagung ditangan, mereka memakan camilan mereka sambil duduk di sebelahku. Belum camilan itu habis temannya mengajak kembali ke kolam

"Yuk renang lagi, makanannya taro disini aja"


"Yuk" jawab si anak lelaki itu

30 menit berselang mereka datang mengambil handuk lalu si anak kurus ini sudah berganti dengan pakaian yg kering dan menjinjing plastik berisi baju renangnya. Temannya yang sedari tadi bersama sudah pulang bersama ayahnya.

Setelah temannya pulang, dia duduk kembali disebelahku, terlihat sedang menunggu

"Sudah renangnya?" Tanyaku

"Sudah" Jawab datar

"Bundanya mana?"

"Ga ikut"

"Oh, kamu sendirian?" Ia mengangguk

"Kelas berapa kamu?"

"Kelas 2"
"Ooh"

Wah, kaguumnya saya melihat anak kelas 2 SD sudah begitu mandiri mengurus dirinya sendiri. Disaat anak-anak yg lain ditemani orangtuanya, meminta sesuatu tinggal berteriak lalu sang ibu/ayah segera memberikannya.

Anak ini sudah mampu mengurus dirinya sendiri. Mungkin segala yg dia butuhkan sudah disiapkan oleh sang bunda, tapi melihat dia mampu mengurus dirinya sendiri, dan begitu sigap merapihkan barang-barangnya. Salut saya!

Salut saya dengan orangtuanya yg mampu mendidik anak lelakinya sampai bisa mandiri diusia kelas 2 SD.

"Abang... Abang"
Anak laki-laki itu menoleh ke asal suara dan pergi bergegas membawa tasnya. Ibu nya sudah menjemput


Sabtu,
120119

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaleidoskop 2022

  Setahun vakum gak nulis apa-apa bukan berarti gue gabut dan gak bisa menceritakan apapun. Tapi, karena tahun 2022 itu nano nano banget buat gue, karena di tahun itu f or the very fisrt time i bacame a mother. Masya allah tabarakallah. Gue jadi Ibooook lho. Sejak dapet predikat itu kehidupan gue berubah gaess. Tolong jangan bayangkan kehidupan gue itu kaya ibu-ibu yang hepi hepi punya bayi, teteuup keliatan flawless , looks so gorgeous . Preetttt, itu sungguh ga ada sama gue. Setelah melahirkan gue justru merasa buluk. Berat badan naik hampir 20kg, begadang tiap malem sama bayi aja (karena setelah lahiran gue LDR sama suami), harus pumping tiap 2 jam, belajar menyusui sampe berdarah-darah, luka gue yang masih basah. Jujur ga ada cakep-cakepnya gue sesudah melahirkan tuh huhu. Bahkan gue ngerasain yang namanya baby blues lho, sungguh itu bukan mitos. Makanya kenapa wanita yang hamil kemudia melahirkan itu butuh banget dukungan dari lingkungan terdekatnya terutama suami. Satu

Rasanya menjadi Ibu Toddler

Menjadi orangtua dari toddler itu sungguh nano nano. Gatau harus memberi nama perasaan ini dengan apa karena sungguh nano nano. Bukan mau kemakan sama mitos yang katanya anak usia toddler itu sungguh menguras emosi, dan tenaga. TAPI ITU ADALAH FAKTA (buat gw gatau kalo org lain) Sejak memasuki usia 2 tahun rasanya emosi qile tuh makin menjadi-jadi tapi perkembangan emosi ini dibarengi dengan perkembangan autonomy kalo kata ericson. Jadi Qile tuh mulai apa-apa pengen sendiri, iya oke gapapa karena itu fasenya kan. Cumaaa kalo dia sedang melakukan sesuatu terus susaah, dia akan frustasi dan ngamuk. Disini peran emak dalam membantu regulasi emosi sangat dibutuhkan dan emak ketika menghadapi anak sednag emosyenel itu harus adem bukaaan?? TAPI, perlu di ingat sodara-sodara gak setiap waktu emak-emak itu dalam kondisi emosi yang stabil, ya kan?.  Apalagi ketika si emak di rumah itu ga ada yang bantu, ga ada helper, ga ada mbak, ga ada asisten, you named lah. Gimana rasanya? Sudah barang tent

“Menerima” Seni Untuk Hidup Seutuhnya

Sekolah > Lulus > Bekerja > Menikah > Memiliki keluarga. Itu adalah bagian dari siklus kehidupan (yang katanya) ideal di masyarakat, di mana kehidupan berjalan dengan minim hambatan. Seolah semuanya terasa begitu mulus dan sempurna. Apakah benar kehidupan yang ideal itu seperti itu? Tentu saja tidak! Kehidupan ideal menurut orang lain belum tentu ideal untukku. “Ideal”  kata sederhana yang sebetulnya amat bahaya jika dipakai sebagai ukuran dalam menjalani kehidupan ini. Aku korban dari kata ideal ini (dulu). Sejak duduk di bangku SMA dulu, aku cukup dikenal sebagai anak yang idealis. Apapun yang aku lakukan harus berjalan sesuai dengan standarku. Tidak boleh kurang. Aku siap membayar setiap pencapaian yang aku inginkan dengan sebuah usaha yang tidak main-main.  Akhirnya, setiap usahaku itu memang membuahkan hasil. Pencapaian demi pencapaian berhasil aku dapatkan. Keberhasilan itu semakin menguatkan keyakinanku bahwa, untuk mencapai kesuksesan kamu perlu menjadi sosok yang