Terima kasih Yogya untuk liburan singkatnya, aku merasa seperti pulang ke
rumah. Tidak begitu banyak yang berubah memang, hanya saat ini dirimu semakin
panas dan penuh sesak oleh kendaraan roda empat. Apalagi di akhir pekan, jalan
raya tidak hanya di penuhi oleh warga setempat tapi kendaran berplat ibu
kota juga ikut memenuhi ruas-ruas jalanan. Macet.
Kunjungan kami kemarin tidak hanya memutar memoar antara aku dan kota ini,
tapi juga membuat aku mengukir kisah baru di sini, menemukan banyak pemahaman
baru, membingkai segala rasa yang bergumul menjadi sederhana, dan siap dengan
segala pilihan yang harus diambil. Aku berjanji setelah perjalanan ini aku
harus kembali dengan perasaan yang jauh lebih baik.
Selama di Yogya, kita tinggal di rumah Budhe Adil, ini kali pertama aku
ketemu Budhe, usianya sudah berbilang tujuh puluhan tapi tubuhnya masih sangat
bugar. Rumah Budhe ini besar dan bentuknya masih tradisional bahkan lantainya
pun masih dari semen lho. Kalo biasanya kesan rumah tua itu horor tapi tidak
dengan rumah Budhe Adil. Saat pertama kali masuk kesan pertama dari rumah ini
adalah “Adem”, hawanya enak gitu buat jadi tempat tinggal. Di rumah sebesar itu
Budhe hanya tinggal berdua dengan cucunya, Mbak Avi namanya.
Ini adalah sosok yang akan aku ceritakan kali ini, sosok tangguh yang luar
biasa. Mbak Avi ini yang menyambut kedatangan kami dan menghidangkan teh
hangat.
“Diminum Mbak teh manisnya” ujarnya dengan logat jawanya
“Iya makasi Mbak” jawabku sambil mengambil segelas teh yang masih
mengepul.
Dirinya undur setelah memberikan kami teh hangat di meja.
Esok pagi kami berkumpul di ruang tamu, di atas meja sudah terhidang teh
manis hangat yang masih mengepul dan potongan roti coklat.
“Ayo mbak diminum teh nya, silakan” Pinta Budhe
“Iya Budhe” jawabku sambil meneguk teh manis.
“Semalam ndak ketemu yaa, aku sudah tidur habis sembahyang isya langsung
tidur hehe” Jelas Budhe
“Iya Budhe gakpapa hehe lagian kami sampai juga sudah malam, karena dari
Yogya selepas maghrib” Jawabku
Setelah berbincang ria Mbak Avi datang membawa sarapan. Menu pagi ini
sedikit membuatku kaget karena sarapan kali ini adalah nasi gudeg. Seumur-umur
belum pernah makan nasi pakai gudeg, biasanya makan gudeg yaa gudeg
nya aja tidak pakai nasi. Soal rasa agak aneh sih hehe secara lidahku lebih
sering terpapar rasa asin dan pedas dari pada manis. But overall its
good.
Setelah sarapan dipiring tandas aku masih duduk di ruang tamu bersama
Budhe, tidak lama Mbak Avi muncul dari dapur dan ikut duduk bersama kami dan
percakapan itupun dimulai.
“Mbak Avi sudah kerja tah?” Tanyaku membuka pembicaraan
“Iya Mbak sudah, aku kerja di X”
Pembicaraan itu mengalir terus hingga aku tahu kalo Mbak Avi ini dulu
sekolah di Jakarta, tetapi memilih pulang ke desa di tenggara kota Yogya untuk
nemenin Budhe Adil, sementara orangtua dan keluarganya semua di Jakarta.
“Kenapa Mbak gak stay di Jakarta aja bareng Ibu?” Tanyaku
“Daripada Ibuk yang kesini lebih baik aku Mbak, biar adeku bisa tetep
sekolah di Jakarta sama Ibu, toh aku di sini juga nemenin si Mbah”
Jawabnya.
Dari sorot matanya aku melihat ada ketulusan hati yang luar biasa, ada
banyak pengorbanan di dalam hidupnya, ada banyak air mata yang menangisi
perjalanannya, but she still survive, she never regrets her decision to
be back here.
Sosok Mba Avi dan segala ceritanya, benar-benar membuat aku lebih bersyukur
atas kehidupan saat ini, ternyata jauh di luar sana ada banyak orang yang jauh
lebih berat masalahnya, lebih rumit ujiannya, lebih sulit hidupnya tapi mereka
percaya hidup ini sudah diatur.
Sutradara terbaik sudah menyiapkan skenario yang hebat untuk hidupnya. Dia
hanya perlu meyakini bahwa tiap episode yang menyakitkan baginya akan diganti
dengan sebuah episode bahagia nanti.
Kapan? Nanti, bukankah kabar bahagia itu akan datang kepada orang-orang
yang mau bersabar? Itu niscayaNya kan.
Sejujurnya akupun menjadi berkaca diri kepada Mbak Avi, dia begitu tangguh
menghadapi hidup ini, berani mengambil keputusan besar, keluar dari semua zona
nyaman dan bertahan hidup sendiri di sini.
Allah mau aku belajar, mau menyadarkan aku, dan mau memberiku sebuah pemahaman
yang baru lewat perjalanan singkat ini. Ah, Allah memang caranya selalu indah.
Dear Mbak Avi,
Terima kasih ya sudah mengajarkan pelajaran hidup yang baru untukku,
Memberikan makna yang begitu dalam soal kehidupan,
Membantuku untuk lebih yakin akan garis takdirNya
Tetap menjadikan Do’a sebagai senjata terbaik kala semua resah,kecewa, dan
sedih mengungkung.
Barakallahufik Mbak Avi
PNB
280120
Komentar
Posting Komentar