Malam semakin gelap, dingin angin
menusuk kulit ari menjalar di sela-sela jari sampai ke hati. Lenguh burung
hantu menjadi nyanyian malam. Aku terduduk menghadap jendela dengan segelas
jahe hangat menatap bulan yang menyabit dari jendela. Beku.
Jam dinding menunjukan pukul
22.30 tapi mataku belum mau terpejam, kepalaku penuh memikirkan banyak hal,
membuatku mematung memandangi hitamnya langit sendirian. Sampai suara ketukan
pintu membuyarkan pikiranku.
“Teteh belum tidur? Kenapa
jendelanya dibuka?” Tanya Abi dari ambang pintu.
“Belum ngantuk Bi” Jawabku pendek,
masih dengan segelas jahe ditangan tanpa memalingkan wajah.
“Lagi apa sih?” Abi berjalan
mendekat dan duduk di atas kasur.
“Abi, nafa boleh tanya sesuatu?”
tanyaku membalik badan menghadap Abi.
“Kenapa teh?”
Ada perasaan ragu sebetulnya
untuk menanyakan hal ini tapi aku butuh jawaban dari pertanyaan ini secepatnya,
aku tidak mau hanyut dalam asumsiku sendiri hanya karena aku tidak punya cukup
nyali untuk bertanya. Tapi, aku meyakinkan diri bahwa apapun yang terjadi aku
siap dengan konsekuensinya. Apapapun. Dengan segala kekuatan yang dipunya
kalimat itu meluncur juga.
“Bi, Abi sudah melepas nafa
sekolah jauh, sejak nafa SD sampai kuliah, nafa aktif kegiatan sekolah ini itu,
sering keluar kota, semuanya nafa lakuin sendiri tanpa di anter, Abi gak takut
nafa jadi anak nakal? nafa pacaran misalnya atau berteman sama yang gak baik?”
tanyaku dengan sedikit perasaan kebat kebit.
Abi mengulum senyum simpul,
sambil membetulkan posisi duduk.
“Abi gak takut, karena Abi sudah
menitipkan kalian ke Allah, Keputusan ummi dan abi menyekolahkan kalian jauh
bukan tanpa pertimbangan Teh, bukan juga keputusan yang mudah, khawatir pasti
ada tapi Abi yakin insya Allah itu keputusan yang baik, dan terbukti kan”. Jawab
Abi sambil menatapku lamat-lamat.
“Teh, Abi gak tahu apa yang kalian
lakukan dibalik tembok, karena kemampuan manusia mah terbatas, tapi apapun yang
kalian lakukan di luar pandangan Abi Allah pasti tahu. Kalian sudah lebih dari
paham arti mana baik mana buruk, mana halal mana haram ya kan? Terlebih Teteh
sudah dewasa pahala dan dosa sudah ditanggung sendiri kan yah?” Tambahnya
dengan nada sedikit serius.
Aku berusaha mencerna tiap kata
yang di katakan Abi, mengeja tiap kalimatnya mencoba memahami.
“Terus kenapa Abi selalu
mengijinkan apapun kegiatan yang nafa lakukan tanpa bertanya lebih?”. Tanyaku
menyelidik.
“Karena Abi tahu, anak Abi ini
sangat dewasa, sangat bertanggung jawab sama dirinya, mandiri dan bisa
diandalkan. Abi percaya ketika meminta ijin berarti Teteh sudah menimbang baik
buruknya, urgent tidaknya dan maslahat mudharatnya. Gak mungkin Teteh
mengkhianati kepercayaan ummi abi kan? Ijin itu sebetulnya hanya formalitas untuk Abi bisa tau aja kan?” Tanya Abi sambil sedikit menyeringai.
Aku yang mendengar itu tertunduk
malu karena apa yang dikatakan Abi semuanya adalah benar. Sebelum aku menjawab Abi melanjutkan
kalimatnya.
“Abi tahu semua karakter
anak-anak Abi, dan Teteh itu anak yang paling keras kepala tapi hatinya baik, selalu
keukeuh sama pendiriannya dan selalu pengen keliatan kuat padahal aslinya
cengeng juga, ya kan?” Tanya Abi sambil menjawil pipiku yang mulai terasa
panas.
“Ih Abi apaan sih ah jadi
kemana-mana ngomongnya, udah ah mau tidur”. Aku mendorong Abi keluar kamar dan
langsung menutup pintu, sambil menutupi wajah yang aku rasa sudah seperti udang
rebus, merah padam.
Aku menutup pintu dengan senyum
mengembang dan pipi seperti udang. Terjawab sudah pertanyaan yang mengganjal
selama ini, semua ketakutanku bahwa Abi tidak peduli itu salah. Kekhawatiranku
bahwa Abi itu cuek juga keliru. Nyatanya Abi hanya bersikap sebagaimana
mestinya. Beliau punya caranya sendiri dalam mendidik dan memberikan sebuah percaya pada kami, meski terkadang itu
membuat kami memiliki penilaian negatif. Ya gak masalah beliau punya caranya
sendiri, gak harus segala sesuatu itu sama seperti orang lain, semua harus sama
sesuai normatif kebanyakan. You have your own way Dad.
Beliau juga tahu bahwa aku
bukanlah anak yang gegabah dalam mengambil keputusan, sebelum permohonan ijin
itu sampai ke orangtua sudah pasti aku pertimbangkan dulu matang-matang dengan
segala konsekuensinya.
That's enough for me...
That's enough for me...
Dear Abi,
I might not a good child Bi,
Sometimes i got annoyed,
Sometimes we argued, we fought,
we didn’t talk each other but deep down i love you more than anything. You know
me very well, you are familiar with all my bad habits but still, you keep on
loving me.
200220
Komentar
Posting Komentar