Anak adalah titipan Allah
Anak adalah aset akhirat bagi orang tua
Dan anak perlu diberikan hak nya yang menjadi kewajiban
orangtua untuk memberikan itu.
Apa saja hak nya?
Hak di kenalkan kepada siapa TuhanNya, Siapa Nabinya, Apa
agamanya, Apa kitab nya dan Apa saja yang diajarkan agamanya. Itu semua hak
mereka yang harus mereka dapatkan dan ini harus ditunaikan oleh orangtua
sebagai makhluk yang dititipkan.
Tapi, saat ini justru banyak orangtua yang berlomba menjadikan
anaknya sebagai objek obsesi orang tua sebagai eksistensi diri. Diikutkan lomba
foto model, les bahasa ini itu, les piano, les ballet. Seolah ingin menunjukan
bahwa anaknyalah yg terbaik.
Terbaik?
Terbaik menurut siapa?
Terbaik untuk siapa?
Wahai orangtua,
Bukan suatu kehinaan jika anak-anak tidak menjadi
model cilik terkenal, bukan sebuah keterbelakangan jika anak-anak tidak memakai
baju yg fancy dengan bentuk
sedemikian rupa pun bukan sebuah cela jika anak-anak kita tidak tahu
tokoh-tokoh kartun dunia. Sungguh itu bukan sebuah aib.
Karena itu semua tidak akan di pertanggung jawabkan di
akhirat kelak. Tetapi yang akan Allah tanya adalah sudah sejauh mana kau kenalkan
anak-anakmu padaKu? Pada NabiKu? Kitab dan agamaKu? Yang mana itu adalah tugas
kewajiban orangtua.
Wahai orangtua,
Ingatkah bahwa di luar sana banyak sekali pasangan
yang sangat menginginkan kehadiran seorang anak di dalam keluarganya tapi Allah
belum mengizinkan. Maka berbahagialah bagi mereka yang dititipkan anak di dalam
keluarganya dan didiklah mereka sesuai dengan fitrahnya.
Mungkin akan ada yang berkata seperti ini
“Gausah repot deh, belajar agama mah panggil aja guru ngaji, sekarang juga banyak kan lembaga yg buka”
Memang di luar sana sudah banyak lembaga yang menawarkan jasa
untuk mengajarkan anak mengaji sejak kecil dengan berbagai metode dan jaminan yang
mereka janjikan.
Memberikan materi agama pada anak itu mudah! 8 sampai 10
pertemuan juga anak sudah bisa melafalkan do’a-do’a harian, praktik sholat dan
mengaji. Tapi, Pak Bu apakah itu akan membekas pada diri si anak dan menjamin
si anak akan konsisten melakukan itu sebagai kewajibannya? Dan membuat si anak
takut melakukan dosa karena paham bahwa Allah melihat apapun yang kita kerjakan
meski tidak ada yang melihat? Jawabanya belum tentu. Karena yang sulit adalah
mendidiknya.
Mendidik mereka untuk tidak sekedar tahu tapi paham apa saja
kewajiban mereka dan apa saja yang boleh dan tidak boleh di lakukan. Sampai
pada titik dimana tanpa ada pengawasan dari orangtuapun si anak sadar apa saja
yang boleh dan tidak boleh dilakukan karena sejatinya ada CCTV Allah yang maha
melihat setiap detail perilaku kita.
Maka dari itu jika hanya mengandalkan guru mengaji di
lembaga atau yang di panggil ke rumah tetapi tidak di barengi dengan contoh
dari orangtua akan sulit membuat anak memahami apa kewajibanya. Kalaupun si
anak mampu memahami apa kewajibanya, pahala yang mengalir dari setiap kebaikan
yang dia lakukan akan mengalir pada guru mengajinya karena beliaulah yang
mengajarkannya. Lalu apa yang tersisa untuk orangtua?
Bukan kah orangtua berharap memiliki anak yang sholih dan
sholihah agar dapat terus mendo’akan ketika orangtua sudah tiada?
Bukankah orangtua berharap memiliki anak sholih dan sholihah
agar Allah angkat derajat mereka?
Oleh karena itu, ini menjadi pengingat dan catatan bagi diri saya
sendiri. Bahwa menjadi orangtua itu bukan hal sederhana tetapi merupakan hal
yang berat dan perlu banyak persiapan karena pertanggung jawabannya di bawa sampai ke akhirat. Maka
mendidik anak itu perlu ilmu agar tidak keliru dalam mendidik mereka, agar para orangtua tidak mencederai fitrah mereka sebagai anak dan hambaNya.
Semoga sayapun kelak mampu menjadi sekolah terbaik mereka dan mampu mendidik mereka sesuai dengan fitrahnya. Aamiin.
5 Ramadhan,
28420
Ditemani gerimis yg awet
Komentar
Posting Komentar